Kerajaan Blambangan adalah
kerajaan yang berpusat di Ujung paling
timur pulau
Jawa Blambangan dianggap sebagai kerajaan
bercorak Hindu terakhir di
Pulau Jawa.
Di abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah
Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin
penguasa yang beragama Hindu. Kemungkinan besar terjadi perang antara
Pasuruan dan
Blambangan pada tahun 1540-an, 1580-an dan
1590-an. Rupanya pada tahun
1600 atau
1601
ibukota
Blambangan ditaklukkan.
Menurut
babad Jawa dan juga penulis Belanda
François
Valentyn, pada abad ke-17, Blambangan adalah bawahan
Surabaya, namun hal ini diragukan. Yang
jelas,
Sultan Agung dari
Mataram (bertahta
1613-
1646),
yang menyerang Blambangan tahun
1633, tidak pernah dapat
menaklukkannya.
Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh
I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja
Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan
bantuan
Surapati Raja Blambangan
Prabu
Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk
perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara,
I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan
kekekuasaan Kerajaan Blambangan kepada Cokorda Agung
Mengwi setelah dinikahkan putri Raja
Mengwi tersebut.
setelah Blambangan dalam kendali
Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan Prabu
Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, dimana
Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung
Mengwi.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan
Bali.
Kerajaan
Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan
Kesultanan Mataram
terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan
Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa
Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang
cukup berbeda dengan
bahasa Jawa baku.
Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari
wilayah Blambangan.
Silsilah Kerajaan Blambangan
Silsilah Awal
- Mpu Withadarma
- Mpu Bhajrastawa
- Mpu Lempita
- Mpu Gnijaya
- Mpu Wiranatha
- Mpu Purwantha
- Ken Dedes
- Mahisa Wonga Teleng
- Mahisa Campaka
- Lembutal
- Rana Wijaya/Raden Wijaya
- Tribuana Tunggadewi
- Hayam Wuruk
- Wikramawardhana
- Kerta Wijaya
- Cri Adi Suraprabawa
- Lembu Anisraya/Minak Anisraya
- Mas Sembar/Minak Sembar
- Bima Koncar/Minak Sumendhe
(memerintah Blambangan pada tahun 1489-1500)
- Minak Pentor (memerintah
Blambangan 1500-1541)
- Minak Gadru ( Memerintah
Prasada/Lumajang): Minak Gadru menurunkan Minak Lampor yang memerintah di
Werdati-Teposono-Lumajang.
- Minak Cucu (Memerintah Candi
Bang/Kedhaton Baluran): Minak Cucu terkenal dengan sebutan Minak Djinggo
penguasa Djinggan beliau berputra SONTOGUNO yang memerintah Blambangan
pada 1550 hingga 1582.
- Minak Lampor
- Minak Lumpat (Sebagai Raja di
Werdati)
- Minak Luput (Sebagai Senopati)
- Minak Sumendi (sebagai
Karemon/Agul Agul)
Kemudian
Minak Lumpat atau SUNAN REBUT PAYUNG berputra Minak Seruyu/Pangeran Singosari
(Sunan Tawang Alun I), Pangeran Singosari menaklukan Mas Kriyan dan seluruh
keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya, Sunan Tawang Alun I
memerintah wilayah Lumajang, Kedawung dan Blambangan pada tahun 1633-1639
Gusti Sunan
Tawang Alun I memiliki Putra :
- Gede Buyut
- Mas Ayu Widharba
- Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas
Brondong)
- Mas Senepo/Mas Kembar
- Mas Lego.
selanjutnya
Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (MBAH KOPEK), Sementara
Mas Lanang Dangiran menurunkan Mas Aji Reksonegoro dan Mas Danuwiryo.
Silsilah Setelah Tawang Alun I
Mas Senepo
inilah yang kemudian memerintah Kedhaton Macan Putih bergelar Susuhunan Gusti
Prabhu Tawang Alun, Dimana beliau memerintah pada wilayah Kerajaan Blambangan 1645
hingga 1691, pada masa Pemerintahan Susuhunan
Gusti Prabhu Tawang Alun Blambangan maju dengan pesat dimana kekuasaannya
menyatu hingga ke lumajang. Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki dua Permaisuri
dan beberapa selir, sehingga terjadi beberapa garis keturunan.
Sinuhun
Gusti Prabhu Tawang Alun memiliki putra putri dari Mas Ayu Rangdiyah (MA.
Rangdiyah adalah selir Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan
Agung Mataram, dimana ketika hamil 3 Bulan diserahkan pada Sinuhun
Gusti Prabhu Tawang Alun) :
- Pangeran Pati, Menikah dengan
Puteri Untung Surapati, menurunkan :
- Pangeran Putro/Mas Purbo/
Danurejo.
Sementara
itu Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun dari Permaisuri lainnya yaitu Mas Ayu Dewi
Sumekar (Blater) menurunkan :
- Dalem Agung Macanapuro
- Dalem Patih
Sasranegoro/Pangeran Dipati Rayi
- Pangeran Keta
- Pangeran Mancanegara
- Pangeran Gajah binarong
sementara
dari para selir Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun menurunkan :
- Mas Dalem Jurang mangun
- Mas Dalem Puger
- Mas Dalem ki Janingrat
- Mas Dalem Wiroguno
- Mas Dalem Wiroluko
- Mas Dalem Wiroludro
- Mas Dalem Wilokromo
- Mas Dalem Wilo Atmojo
- Mas Dalem Wiroyudo
- Mas Dalem Wilotulis
ketika
Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun wafat terjadi pengangkatan Pangeran Pati
sebagai Raja Blambangan Macan Putih, hal ini menjadi permasalahan mengingat
Pangeran Pati sejatinya adalah keturunan Sinuhun Gusti Adhiprabhu Sultan Agung, sehingga menimbulkan
peperangan antara Pangeran Pati dan Dalem Agung Macanapuro dan juga Pangeran
Dipati Rayi.
Pangeran
Pati dikalahkan namun putranya yaitu pangeran Putro/ Danurejo menggantikan
beliau, tercatat perang saudara tersebut berlangsung lama dan baik Macanapuro,
Danurejo dan Sosronegoro sempat memimpin Blambangan menjadi raja namun hanya
sebentar mengingat perang rebut tersebut terus menerus berlangsung.
Dipati Rayi
mengamuk dan merusak Kedhaton Macan Putih pangeran dipati Rayi beliau baru
berhenti karena meninggal akibat senjata Ki Buyut Wongsokaryo yaitu Tulup Ki
Baru Klitik.
Perang
saudara setelah swargi Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun, membuat macan putih
menjadi rusak dan baik Gusti Prabhu Macanapuro, Gusti Prabhu Sosronegoro/Dipati
Ray, Pangeran Patii maupun Gusti Prabhu Danurejo seluruhnya meninggal- swargi.
Yang paling mengesankan adalah kemarahan Dipati Rayi yang sangat sakti beliau
juga adalah murid Ki Buyut Wongsokaryo yang juga guru dari Gusti Prabhu Tawang
Alun, kesaktian Dipati Rayi atau Prabhu Sosronegoro membuat Kedhaton Macan
Putih hancur, para agul agul berperang secara lingsem (malu).
Gusti Prabhu
Danurejo memiliki permasyuri Mas Ayu Gendhing dari perkawinan tersebut memiliki
Putra :
Sementara
dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja Mengwi) beliau berputra :
Karena
kacaunya perang saudara Pangeran Gung Dupati dan Pangeran Mas Sirno diungsikan
sampai perang mereda dan Pangerang Gung Dupati diangkat Menjadi Raja Blambangan
yang bergelar Sinuhun Gusti Prabhu Danuningrat memerintah Blambangan Kedhaton
Macan putih pada tahun 1736-1763
Di akhir
abad ke-18, setelah terjadi perang Puputan Bayu 1771
VOC
mengisi kekosongan pemerintahan dan menggabungkan Blambangan kedalam
karisidenan Besuki, dan mengangkat Mas
Alit sebagai KRT Wiroguno sebagai Bupati Pertama dimulai dari KRT
Wiroguno inilah dinasti Kerajaan Blambangan secara pasti dan terpercaya telah
memeluk Islam, generasi diatas KRT Wiroguno tidak terdapat sumber terpercaya
telah memeluk Agama Islam.
Hilangnya
Blambangan bagi Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi
kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa moyang mereka berasal dari Majapahit.
Dengan masuknya Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari
Jawa.
Arkeologi
Beberapa
penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan
blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan
sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan
tanah dan membentang dari masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa
Tembok Rejo. Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan setinggil
yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi.Objek Siti Hinggil
ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah
utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan pos pengawasan
pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu
pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai
"keistimewaan" untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk pang Pang dan
Semenanjung Blambangan. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang kini
tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris gelang lengan, sedangkan
kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura Agung
Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping
itu pada lokasi Keraton Macan Putih didaerah Kecamatan
Kabat didapati relief arkeologi dan benda benda yang terkubur saat
ini dilokasi seluas 44 Hectare
yang telah menjadi persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi milik
kerajaan, beberapa puing tembok batas kerajaan pun terkubur rusak dan hancur,
masyarakat setempat sering memindahkan dan atau menyimpan puing puing tersebut.
Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum di Belanda yang berisi gambar, foto maupun
artefact Keraton Macan Putih.
Setelah
Keraton Macan Putih hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Jaka Rempeg
mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa
Bayu kerajaan ini tidak bertahan lama karena perang Puputan Bayu
1771, yakni dalam hitungan bulan saja disini dapat ditemukan beberapa sisa
artefact dan bekas peperangan dengan VOC
Hingga kini
meskipun Kerajaan sudah hancur Para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap
menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.
Sumber
- Ricklefs, M. C., A History of
Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008
(terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
- Purwasastra, Muji Rahayu, Sriyanto, Cariyosipun
tanah Balambangan jamanipun wong Agung Wilis, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Universitas
Michigan 1996, ISBN 978-979-459-609-8
- Purwasastra,
Babad Wilis,Wilis.html?id=3LotAAAAMAAJ&redir esc=y
Naskah dan Dokumen Nusantara: Textes et Documents Nousantariens, I.pp.
lxxxviii, 393, 9 pl., map. Jakarta, Bandung, Lembaga Penelitian Perancis
untuk Timur Jauh: École Française d'Extrême-Orient, 1980.
- Winarsih
Arifin, Babad Sembar: chroniques de l'est javanais,
Presses de l'École française d'Extrême-Orient, 1995 , ISBN 978-2-85539-777-1
- Margana
Dr. Sri., Java's last Frontier, Universiteit
Leiden
- [1], Puri Gumuk Merang, Banyuwangi
- I
Made Sudjana, Nagari tawon madu: sejarah politik Blambangan
abad XVIII blambangan&hl=id&source=gbs similarbooks,
Larasan-Sejarah, 2001, ISBN 978-979-96250-0-7
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Blambangan